“ Gar!!! Sudah semua kau petik ? Jangan sampai ada yang ketinggalan ya , jadi busuk nanti…”
“Sudah, bang ! Tidak ada yang ketinggalan lagi kok, sudah aku periksa tadi. “
Matahari semakin tinggi. Cahayanya yang hangat semakin lama semakin terang menyinari Brastagi, tapi sinar itu tidak mampu mengalahkan oleh udara dingin yang menjadi ciri khas kota ini. Langit terlihat biru, deru kendaraan semakin ramai. Masyarakat telah sibuk dengan aktivitasnya sehari-hari, begitu juga dengan Togar dan Yayan. Pagi-pagi mereka telah dikebun memetik jeruk-jeruk matang, kemudian menjualnya ke pasar.
Keranjang yang di pundak telah penuh, jeruk-jeruk ranum sudah mereka petik semua. Setelah memasukkan jeruk dari pohon terakhir ke kekeranjang, Mereka melangkah kembali ke rumah.
“Assalammualaikum.”. Togar melangkah masuk ke rumah, diletakkannya keranjang itu di atas meja bersama dengan keranjang-keranjang jeruk lainnya.
“Waalaikumsalam, nak. Capek Gar ? Mana abangmu? Panggil dia sekarang. Biar sama-sama kita makan. Ibu sudah selesai masak.” Jawab Ibu sambil ternyum melihat Togar yang duduk sambil mengelap keringatnya.
“Iya Mak. Tunggu sebentar, biar ku panggil. Tadi kulihat dia ke loteng. Entah ngapain dia kesana.”
Togar bergegas naik tangga dan memanggil abangnya. Sedangkan Ibu, terlihat sibuk menata meja makan. Agar kedua anaknya semakin nyaman menikmati sarapan paginya setelah lelah seusai bekerja.
Sarapan kali ini mereka selingi dengan obralan kecil, sambil tertawa lepas mereka menghabiskan sarapan yang telah di buat emak.. Melupakan sejenak beban hidup yang mereka jalani.
Selesai makan, Yayan mengangkat keranjang jeruk-jeruk dan membedakannya menurut besar kecilnya jeruk itu. Sedangkan Emak terlihat sibuk membereskan bekas sarapan tadi. Togar melangkah gontai keluar rumah, lalu dia duduk di tangga depan.
“Gar, ada apa denganmu? Dari tadi Emak tengok kau melamun saja.”
“Mak.. Boleh aku bertanya ?”
“Bolehla.. Emangnya apa yang ingin kau tanya pada Emak ? Wajahmu serius sekali.” Jawab Emak heran melihat perubahan Togar.
“Kalau misalnya aku merantau bagaimana, Mak ?”
“Apa yang kau pikirkan sehingga tiba-tiba kau ingin merantau ? Apa yang kurang? Selama ini kita bisa bertahan hidup, walau cuma jadi pemetik jeruk. Kita tetap bisa makan, bisa tidur nyenyak di rumah.. “ Emak menatap mata Togar lekat-lekat. Raut wajahnya berubah.
“ Bukan karena itu, Mak. Aku sudah bahagia dengan keadaan kita sekarang. Aku hanya ingin menjadi yang lebih baik. Aku berharap, bila aku merantau aku bisa membagikan ilmu pencak silatku pada orang lain. Aku merasa bahwa aku belum menjadi orang yang mermanfaat, Mak…”
“Bila itu sudah menjadi keputusanmu, emak mau bilang apa. Asal menurut kau itu yang terbaik untukmu, emak akan mendukungmu..”
“Makasih mak, sudah percaya samaku “ Togar tersenyum menatap emaknya.
“Emak akan selalu mendoakanmu. Satu yang emak katakan, kembalilah nak, kapan pun kau siap..” emak menggenggam tangan Togar erat, matanya berkaca-kaca mengatakan itu.
“Togar akan selalu menajdi yang terbaik buat emak dan abang”
“Amin..”. Setelah mengatakan itu emak bangkit, mencium kening Togar, lalu pergi meninggalkan Togar.
…………………………
“Jaga dirimu baik-baik, nak.” Emak mengelus rambut Togar. Pipinya basah oleh air mata yang tidak bisa berhenti.
“Gar, setelah kau berhasil di sana. Jangan lupa kau balik kesini. Jangan lupa dengan kampung halamanmu.” Ujar Yayan. Dia menatap Togar, seakan dia tak ingin Togar untuk pergi.
“Iya mak, bang. Akan ku ingat pesan dari kalian. Aku akan selalu kasih kabar ke kalian.” Sambil tersenyum menatap emak dan abangnya.
Togar melangkahkan kakinya. Perlahan tangannya terlepas dari genggaman emak, air mata emak semakin deras jatuh. Langkah kaki Togar semakin menjauh dari rumah. Dia benar-benar pergi, merantau ke pulau seberang. Emak hanya bisa menatapnya, di peluknya Yayan dengan kuat.
Bersambung …
2 komentar:
bagus.bagus ahh tulisannya,,,
sangat berbakat menjadi seorang penulis!!
you're a candidate of "the most writter"!!
enggak juga akh, banyak yang gag siap. kayak ni cerpen, entah kapan kelanjutan ceritanya ..
Posting Komentar