Pages

Rabu, 22 Januari 2014

Bumi Beratap Langit

Aku sudah semakin jauh berjalan dalam lorong waktuku. Bertemu dengan beragam wajah, beragam tingkah, dan beragam sifat. Menikmati setiap detik yang kujalani. Mengambil setiap keeping-keping cinta yang berhasil kukumpulkan di waktu laluku. Karena aku yakin selalu ada cinta disetiap waktu kita.
 Hanya saja kita terlalu takut dengan “benda tak berwujud” itu namun sungguh hebat bila dirasakan. Rasanya terlalu tabu untuk menyentuhnya. Layaknya peninggalan prasejarah, yang cukuplah diletakkan dalam etalase kaca. Dia hanya perlu dipandang, tidak boleh untuk dipegang, bahkan mungkin dimiliki.
 Benda biru ini bulat, tak pernah kita tahu dimana titik ujungnya. Apakah itu di Kutub Utara atau di Kutub Selatan ? aku saja tak pernah menginjakkan kaki disana.
 Beribu macam spesies yang hidup di dunia ini. Semuanya hidup, menggunakan udara yang sama untuk bernafas,menggunkan tanah yang sama untuk di injak. Namun kenapa kita meyekat diri kita sendiri ?. Seorang bapak tua, aku lupa namanya, dia tidak pernah mandi selama 60 tahun, pernah berkata “aku bisa tinggal dimana saja, di gua, di pohon, di gurun. Karena bumi adalah rumahku dan langit adalah atapku”. Tak pernah ada sekat di hidupnya karena memang dia tidak pernah membuat sekat itu. Sedang kita ? sibuk membuat pagar-pagar yang terlalu tinggi. Seakan-akan dibalik pagar itu adalah dunia milik kita sendiri, yag orang tidak boleh ikut campur tangan, bahkan tidak boleh hanya sekedar melihat saja. Atau sampai ada yang membuat papan lalu digantung diantara tiang-tiang pagarnya “Jangan parkir didepan pintu !” atau “Awas anjing galak !”. betapa semakin menyeramkan bangunan dibalik pagar itu. Masih banyak bentuk-bentuk lain keegoisan kita pada bumi ini. Banyak tawa yang seharusnya bisa kita bagi. Karena cinta memang untuk dinikmati bersama. Bukan hanya berlaku pada sepasang cucu adam dan cucu hawa yang didasari pada sebuah hubungan dengan ikatan kepercayaan pada suatu perasaan yang mutual, yang menurut mereka bahwa takdir mereka adalah bersama. Kenikmatan yang sering mereka sebut dengan Dunia Ini Hanya Milik Kita Berdua. Mungkin kalau lah bisa bumi ini dipagar,maka akan segera bertengger papan-papan lain. Aku bukan ingin terlalu memuja Dewa Amor, hanya saja kenyataan di bumi ini membuat semua terasa sangat sempit. Bahwa sekarang kita merasa memang perlu membuat batas-batas itu. Batas-batas yang terlalu meisahkan kita, memisahkan aku dengan makhluk lain yang masih bernama manusia. Bahwa kita hanya boleh berinteraksi dengan sesama “kita”. Kita yang didalamnya di asaskan hanya pada sebuah persamaan dan membuang segala bentuk perbedaan yang ada. Perlahan-perlahan batas itu semakin tegas, semakin terpisah , tidak ada kita lagi, yang ada hanya sebuah Kami, sebuah kata lain bahwa tidak semua manusia bumi adalah kami. Aku yang terlalu baik untuk masuk dalam lingkaran kami. Aku yang tidak bisa untuk nurut pada semua peraturan. Aku punya takdir untuk manusia lain. Aku masih ingin bertemu dengan bentuk lain dari aku. Bukan hanya pada sebuah lingkarann tertutup diantara Kami. Terlau banyak toleransi yang tidak perlu kita buang. Terlalu banyak tawa yang seharusnya ditakdirkan untuk terlepas. Namun kita yang terlalu keras kepala untuk menggagalkannya. Kita buat batas-batas yang terlalu tinggi. Padahal tebing saja punya jembatan untuk tetap terhubung. Langit yang begitu tingginya masih mau menyapa bumi lewat hujannya. Ketika masih ada asas harga-menghargai maka sejatinya adalah omong kosong bila kita tetap berdiri dalam sekat itu. Bahwa fitrah manusia adalah hidup bersama dalam berbagai perbedaan. Bahwa agama adalah tetap agama. Tapi ketika hubungan hormat-menghormati masih berjalan, alangkah baiknya pintu itu kita buka. Sebuah bentuk kepercayaanku bahwa kita semua adalah saudara, tanpa perduli siapa Tuhan kita. Aku tetap dengan Tuhanku, ketika makhluk diluar aku yang lain masih menghormati Tuhanku. Maka aku tidak punya alasan lain untuk tidak meghormati kepercayaan mereka. Karena semuanya adalah diferensial dari sebuah rasa cinta. Kenikmatan yang bukan hanya milik sendiri. Semuanya berintegarasi dalam bumi ini. Membuat semuanya berotasi pada tempatnya.
 

(c)2009 note pad. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger