“Sakitnya itu
disini.”, sambil memegang dada sebelah kirinya. Begitulah ungkapan orang
sekarang kalau sedang merasa disakiti. Dan mungkin ini sedang berlaku untukku.
Manusia terkadang harus menjadi
kambing hitam untuk sebuah kepedihan. Mengatasnamakan perilaku yang jelek,
membuat manusia terkadang harus bersalah atas dirinya. Padahal mungkin saja,
kesakitan itu akibat ulahnya sendiri. Dirinya saja yang kurang pandai
memanajemen diri. Hingga akhirnya hatinya sendiri yang terluka.
Ungkapan bahwa “Tuhan saja Maha Pemaaf”seakaan terus menyiksaku. Bahwa
aku sudah berusaha untuk melebarkan ruang tingkap pengertian untuk manusia itu
seakan seperti tidak cukup untuk melawan ingin hati ini.. Namun, sungguh rasa
sakit itu masih tetap terasa. Sedangkan ketakutanku adalah bagaimana jika semuanya berakhir dengan
sebuah kebencian.
Satu hal yang pasti bahwa aku sampai
saat ini masih berstatus manusia biasa, yang punya banyak keterbatasan. Suatu
acara di televisi berkata seperti ini, “apa kesabaran itu tidak ada batasnya ?
Ya, hanya saja manusia yang punya batas kemampuan untuk bersabar”. Sangat
mengena bagi diriku. Namun aku bertanya, apakah aku sudah berusaha untuk
bersabar terhadap manusia satu ini ? Apa kesabaranku sudah sampai pada batas
kemampuan sabarku ? Atau akunya saja yang tidak mampu memaafkan orang lain ? Atau
sebenarnya ini semua adalah murni keselahanku yang secara tidak langsung aku mengkambinghitamkan
manusia lain?
Hati gelisah tiap saat mengingat
dia. Seakan aku ingin menjauh darinya, benar-benar menjauh untuk waktu yang
lama. Aku sadar mungkin aku sedang kalut. Proses perubahan dari yang dulunya
menyayangi dan menghargainya hingga sekarang hampir masuk kedalam pintu gerbang
kebencian. Aku akan sangat membenci diriku bila kusadari bahwa aku membenci
spesies yang masih sama sepertiku, manusia.
Akhirnya yang ada hanyalah mulut
yang membisu. Tidak adalagi sapa senyum yang tulus seperti yang dulu sering
kuberikan untuknya. Tidak adalagi canda tawa yang dulu sering dilakukan
bersama-sama. Maka tinggalah jiwaku yang bersedih, badanku yang menangis dan
hatiku yang tersakiti. Hal yang baru kusadari bahwa membencinya adalah sebuah
kesakitan tersendiri untukku. Namun berusaha untuk lebih melapangkan hati
untuknya juga semakin membuat hatiku pedih.
Maka aku hanya ingin sendiri dulu,
melihat wajahnya saja sudah membuat aku teriris konom lagi harus berbicara.
Mungkin posisiku disini sedikit tidak menguntungkanku. Dimana dia sebagai
atasanku, yang seharusnya aku mampu membantu dia kapanpun dia butuhkan. Namun
melihat kondisiku seperti ini. Oh Tuhan, ini benar-benar saat yang sulit
untukku.
Berawal dari teman biasa, akhirnya
menjadi teman satu kelompok diskusi, jumlah kami banyak. Tapi aku berada dalam
satu tugas dengan dirinya. Sehingga kami mungkin sedikit lebih sering bersama.
Awal mungkin semua masih memahami sifatnya, dan aku sebagai patner kerjanya
berusaha memandang positif dirinya.
Secara sadar sebagian dari kami
sudah mulai risih dengan sifatnya. Yaa, setiap orang punya pandangan
masing-masing terhadap orang lain. Maka aku mencoba membujuk hati mereka untuk
tetap menerimanya. Tapi, tidak akan ada api kalau tidak ada asapnya. Maka perpecahan
mulai terlihat. Pemberontakkan atas sifat-sifatnya mulai terang-terangan
dibantah.
Keadaan ini membuatku sulit. Situasi
ini seperti memaksa aku untuk memlih, antara dia sebagai atasanku dan temanku,
atau mereka yang konotasinya juga merupakan teman bagiku. Sifatnya yang selalu
membuat diriku tidak bias apa-apa, semakin lama membuatku menyerah juga.
Hal ini terus berlangsung. Keadaan
semakin parah. Hingga akhirnya aku jatuh dalam batas kemampuan pengertianku.
Antara lelah terus mencoba mengerti atau memang sudah tidak ingin lagi mngerti
dia. Dia selalu terasa harus selalu sempurna, tanpa mengerti batas kemampuanku,
atau pekerjaanku yang selalu dianggap tidak ada membuatku benar-benar ingin
berhenti.
Maka, hal apa yang harus kulakukan
untuknya ? Mungkin rasa kecewa telah menghapus segalanya, pengertianku, usahaku
untuknya.
0 komentar:
Posting Komentar