Pages

Jumat, 11 Juli 2014

Patologi Sakit Hati



“Sakitnya itu disini.”, sambil memegang dada sebelah kirinya. Begitulah ungkapan orang sekarang kalau sedang merasa disakiti. Dan mungkin ini sedang berlaku untukku.
            Manusia terkadang harus menjadi kambing hitam untuk sebuah kepedihan. Mengatasnamakan perilaku yang jelek, membuat manusia terkadang harus bersalah atas dirinya. Padahal mungkin saja, kesakitan itu akibat ulahnya sendiri. Dirinya saja yang kurang pandai memanajemen diri. Hingga akhirnya hatinya sendiri yang terluka.
            Ungkapan bahwa “Tuhan saja  Maha Pemaaf”seakaan terus menyiksaku. Bahwa aku sudah berusaha untuk melebarkan ruang tingkap pengertian untuk manusia itu seakan seperti tidak cukup untuk melawan ingin hati ini.. Namun, sungguh rasa sakit itu masih tetap terasa. Sedangkan ketakutanku adalah  bagaimana jika semuanya berakhir dengan sebuah kebencian.
            Satu hal yang pasti bahwa aku sampai saat ini masih berstatus manusia biasa, yang punya banyak keterbatasan. Suatu acara di televisi berkata seperti ini, “apa kesabaran itu tidak ada batasnya ? Ya, hanya saja manusia yang punya batas kemampuan untuk bersabar”. Sangat mengena bagi diriku. Namun aku bertanya, apakah aku sudah berusaha untuk bersabar terhadap manusia satu ini ? Apa kesabaranku sudah sampai pada batas kemampuan sabarku ? Atau akunya saja yang tidak mampu memaafkan orang lain ? Atau sebenarnya ini semua adalah murni keselahanku yang secara tidak langsung aku mengkambinghitamkan manusia lain?
            Hati gelisah tiap saat mengingat dia. Seakan aku ingin menjauh darinya, benar-benar menjauh untuk waktu yang lama. Aku sadar mungkin aku sedang kalut. Proses perubahan dari yang dulunya menyayangi dan menghargainya hingga sekarang hampir masuk kedalam pintu gerbang kebencian. Aku akan sangat membenci diriku bila kusadari bahwa aku membenci spesies yang masih sama sepertiku, manusia.
            Akhirnya yang ada hanyalah mulut yang membisu. Tidak adalagi sapa senyum yang tulus seperti yang dulu sering kuberikan untuknya. Tidak adalagi canda tawa yang dulu sering dilakukan bersama-sama. Maka tinggalah jiwaku yang bersedih, badanku yang menangis dan hatiku yang tersakiti. Hal yang baru kusadari bahwa membencinya adalah sebuah kesakitan tersendiri untukku. Namun berusaha untuk lebih melapangkan hati untuknya juga semakin membuat hatiku pedih.
            Maka aku hanya ingin sendiri dulu, melihat wajahnya saja sudah membuat aku teriris konom lagi harus berbicara. Mungkin posisiku disini sedikit tidak menguntungkanku. Dimana dia sebagai atasanku, yang seharusnya aku mampu membantu dia kapanpun dia butuhkan. Namun melihat kondisiku seperti ini. Oh Tuhan, ini benar-benar saat yang sulit untukku.
            Berawal dari teman biasa, akhirnya menjadi teman satu kelompok diskusi, jumlah kami banyak. Tapi aku berada dalam satu tugas dengan dirinya. Sehingga kami mungkin sedikit lebih sering bersama. Awal mungkin semua masih memahami sifatnya, dan aku sebagai patner kerjanya berusaha memandang positif dirinya.
            Secara sadar sebagian dari kami sudah mulai risih dengan sifatnya. Yaa, setiap orang punya pandangan masing-masing terhadap orang lain. Maka aku mencoba membujuk hati mereka untuk tetap menerimanya. Tapi, tidak akan ada api kalau tidak ada asapnya. Maka perpecahan mulai terlihat. Pemberontakkan atas sifat-sifatnya mulai terang-terangan dibantah.
    

            Keadaan ini membuatku sulit. Situasi ini seperti memaksa aku untuk memlih, antara dia sebagai atasanku dan temanku, atau mereka yang konotasinya juga merupakan teman bagiku. Sifatnya yang selalu membuat diriku tidak bias apa-apa, semakin lama membuatku menyerah juga.
            Hal ini terus berlangsung. Keadaan semakin parah. Hingga akhirnya aku jatuh dalam batas kemampuan pengertianku. Antara lelah terus mencoba mengerti atau memang sudah tidak ingin lagi mngerti dia. Dia selalu terasa harus selalu sempurna, tanpa mengerti batas kemampuanku, atau pekerjaanku yang selalu dianggap tidak ada membuatku benar-benar ingin berhenti.
            Maka, hal apa yang harus kulakukan untuknya ? Mungkin rasa kecewa telah menghapus segalanya, pengertianku, usahaku untuknya.
           


         

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 note pad. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger