Pages

Rabu, 18 Agustus 2010

Sayang Jika di Buang

“Kau tak bosan menanam terus? Kau kan tahu bahwa tanah disini tak subur? Tetap saja kau tanam bunga itu. Rumah ini akan semakin semak bila kau terus menanam. ” ujar Mamak saat aku masih sibuk dengan bunga yang aku tanam.
“Mak, aku tak bisa hidup kalau aku disuruh berhenti menanam. Lagipun rumah kita akan lebih terlihat asri jadinya” jawabku setengah kesal.
“Memang. Tapi, buat apa kau memenuhi halaman rumah ini. Sedangkan kau tahu bahwa lemari makan kita masih kosong ?” kata Mamak berhasil menikam ulu hatiku.
Terbayang utang yang menjerat leher kedua orang tuaku untuk menyekolahkan aku dan adikku. Penghasilan Ayah yang hanya sebagai tukang membersihkan rumput di kebun kelapa sawit tidaklah cukup untuk menghidupi 4 orang. Terpaksa Mamak menjadi tukang cuci supaya kami bisa makan.
…………………..
Suara azan Subuh menggema saling sahut-menyahut. Ayah telah berangkat sejak pagi tadi. Mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalan menuju areal perkebunan untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertinggal kemarin. Matahari semakin tinggi, jalan-jalan telah ramai di lewati kendaraan roda empat dan roda dua. Pasti mereka para manejer di perkebunan ini, gumanku. Saat mobil-mobil kelas mewah melintas depan rumahku.
Kulangkahkan kaki menuju kandang tempat lembu-lembu titipan orang. Aku siap untuk menggembalakan lembu-lembu mencari sarapan paginya. Andai lembu-lembu ini adalah punyaku, pasti aku akan lebih semangat.
Kubiarkan lembu-lembu ini bebas mencari rumput kesukaanya. Mataku masih sibuk mencari sosok lelaki tua pujaanku. Dimana Ayah ? Dari tadi aku tidak menemukannya. Mungkin ayah sudah terlalu masuk kedalam kebun pikirku.
Kusandarkan badanku kebatang pohon kelapa sawit. Mataku mengawasi lembu-lembu, namun pikiranku melayang. Hmm, aku dan keluargaku tak pernah berubah. Tetap berada di dalam kesederhanaan, bahkan kekurangan. Aku dan adikku harus sekolah. Ayah yang sebagai kuli semakin tua, tenaganya semakin hari semakin berkurang.
Aku tak ingin jadi kuli ! Aku disekolahkan ayah bukan untuk jadi pembantu ! Aku ingin jadi mereka, yang setiap hari lewat di depan rumahku mengendarai mobil mewah yang ditemani oleh supir pribadi !. Tak usahlah seperti itu, bisa menyekolahkan adik-adikku dan membahagiakan orang tua sudah cukup bagiku.
“Ucok..”, seseorang menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan.
“Ah, ayahnya rupanya, bikin kaget saja ayah ini” jawabku setengah terkejut melihat kedatangan ayah yang tiba-tiba.
“Apa yang kau pikirkan bujangku ? Dari tadi ayah perhatikan kau diam saja”
“Tidak ada, Yah. Aku hanya sedikit berpikir. Ayah dari mana saja ? Aku mencari-cari ayah sejak pagi tapi tak terlihat, baru sekarang ayah datang.” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ayah dari dalam kebun, melanjutkan yang kemarin”
“Ohh..” aku menjawab sambil mengangguk kecil.
“Nak..”.
“ Iya,Yah. Ada apa ?” tanyaku pada Ayah, yang tiba-tiba memanggilku. Ayah diam sejenak sejak aku menjawab panggilan dia. Terdengar hembusan panjang nafas Ayah.
“Jangan pernah kau marah pada Allah. Dia tak akan mungkin tega melihat hamban-Nya menderita. Yang harus kita lakukan adalah sabar. Tak perlu kau khawatir, Allah tak pernah tidur..” kata Ayah padaku sambil menatap mataku lekat-lekat.
“Kau lihat dia, nak..” sambung Ayah sambil menunjuk ke sosok lelaki tua yang sedang mengumpulkan tandan kosong kelapa sawit di kebun seberang jalan tempat aku dan Ayah duduk.
“Dia sudah hampir 35 tahun bekerja sebagai pengumpul tandan kosong di perkebunan kelapa sawit. Apa kau tahu, gajinya lebih kecil dibandingkan ayahmu ini. Tapi dia tak pernah marah, malahan tiap hari dia selalu berguyon dengan ayah, seakan hidupnya jauh lebih baik dari sekarang. Ayah mu ini belum apa-apa.” kata Ayah padaku, setelah itu dia bangkit melangkah meningggalkanku dan kembali menuju kedalam kebun.
Aku masih memperhatikan bapak itu, usianya mungkin lebih tua dibandingkan Ayah. Tangan hitamnya masih sibuk menumpukkan tandan kosong yang di kumpulkannya. Sayang sekali, tandan itu pasti akan dibakar oleh perkebunan dan dijadikan mulsa. Apa tidak ada yang bisa dimanfaatkan dari tandan itu ? pikirku dalam hati.
…………………
“Mak, ucok pergi sekolah dulu ya” kataku pada Mamak yang masih sibuk masak di dapur.
SMA ku bukanlah besar, tapi cukup untuk menampung anak-anak kuli yang bekerja di perkebunan ini. Di kelas aku termasuk murid yang lumayan pintar, itu kata guruku. Bagiku tidak, diriku masih terlalu bodoh di bandingkan anak-anak kota yang pandangannya jauh lebih luas. Aku iri dengan mereka, mereka seperti tidak ada beban, mereka hanya disuruh bersekolah dan belajar dengan baik. Beda dengan kami, para anak kuli, yang harus berpikir bagaimana untuk makan besok, apa lauk untuk makan besok ? Atau masih adakah minyak lampu untuk masak Mamak ?.
Aku masih berjalan menuju rumahku. Keringat mengucur membasahi baju seragam yang sudah pudar warnanya. Matahari tepat di atas kepalaku, seakan tak malu-malu untuk menampakkan wajahnya, sinarnya yang panas menyengat ubun-ubun kepalaku. Panas sekali hari ini, dengusku. Kupercepat langkahku, aku tak ingin lebih lama di luar bersama matahari dan sinarnya.
Pintu rumah kubuka perlahan.. Rumah terasa lengang, tak kulihat Mamak atau si Luhut di rumah. Ya sudahlah, lebih baik aku makan dulu. Cacing di perut ku sudah koor dari tadi. Setelah itu, aku harus memberi makan para lembu itu.
Kuucapkan syukur dalam hatiku. Cacingku telah diam, setelah aku selesai makan. Kubawa piring bekas makan ke bak cuci piring, kucucikan sebentar. Setelah itu, aku melangkah ke luar rumah menuju kandang belakang.
Kuambil kayu kecil dan kubuka kandang lembu. Kugiring lembu-lembu ini ke kebun, berharap ada rumput yang bisa dimakan oleh lembu-lembu ini.
Kubiarkan lembu-lembu itu tanpa diikat, terserah mereka mau makan rumput yang mana. Aku duduk menyandarkan badanku ke pohon kelapa sawit. Mataku beralih pada Pak tua yang tak jauh dari tempat aku duduk. Dia masih asyik mengumpuli tandan kosong kelapa sawit yang tercecer di tanah, keringat nampak jelas mengalir di dahinya. Kudengar bibirnya bernyanyi kecil, melantunkan lagu batak, yang kurang aku mengerti artinya.
Setelah selesai, duduk dia di bawah pohon. Diambilnya handuk kecil dari kantongnya, diusapnya peluh yang mengalir. Sambil dikipas-kipasnya topi capit yang dikenakannya.
Bapak itu menoleh dan tersenyum padaku. Belum sempatku membalas senyumannya, matanya telah beralih lagi ke jalan raya.. Aku menoleh sejenak ke lembu-lembu yang belum berhenti mengunyah rumput dari tadi, kuhitung satu persatu, delapan ekor dan dua anaknya, lengkap semuanya.
Sejenak kutatap tandan yang dikumpulkan bapak itu. Tampak rumput tumbuh subur di tandan yang sedikit hancur menjadi tanah. Mungkin tandan ini sudah beberapa lama teronggok disini, hingga rumput tumbuh bebas, pikirku dalam hati. Aku melangkah meninggalkan kebun, kugiring lembu-lembu menuju rumahku yang tampak terang dari sini, hari sudah gelap ternyata.
Aku melangkah masuk kerumah. Ku lihat Ayah, Mamak dan Luhut berkumpul di ruang tamu yang tak seberapa besar ini. Kuteruskan langkahku menuju kamar mandi yang terletak paling belakang rumah. Aku ingin mandi, badanku sudah gerah setelah seharian keringat menempel di kulitku. Tak lupa aku shalat magrib setelah selesai kubersihkan badanku.
“Makan dulu, Cok.” ajak Ayah setelah selesai kulipat sajadah sembahyangku.
“Iya, Yah. Maaf Yah, aku telat pulang. Tadi lembunya sedikit rewel, tak mau di ajak pulang” jelasku pada Ayah sambil menyendokkan nasi ke piringku. Perutku ikut lapar setelah melihat lembu-lembu makan rumput.
“Ohh, ayah kira kau ketiduran di kebun tadi, Hahaha ..!” gurau Ayah. Aku, Mamak dan si Luhut tertawa mendengar ucapan Ayah. Makan malam kali ini masih sama, ikan asin goreng dengan rebusan dan tidak lupa sambal belacan buatan Mamak, sedap…
Malam semakin larut, mataku masih enggan untuk terlelap. Kupandangi asbes yang kusam karena masa. Pikiranku merawang teringat pada tandan kosong yang ditumbuhi oleh rumput sore tadi. Ruput itu begitu segar, padahal di daerah sini, paling susah menemukan rumput itu, paling-paling hanya ilalang. Kenapa bisa seperti itu ? Kenapa rumput itu hanya tumbuh di sekitar tandan itu saja ? Apa tanah di sekitar tandan itu subur ? Atau tandan kelapa sawit itu yang membuat rumput itu tumbuh subur ?.
“Gar, kau ada buku tentang kelapa sawit ?” tanyaku pada Togar, kawanku sejak kecil kesesokan harinya saat kami sedang duduk-duduk di halaman rumahku.
“Hah ? Untuk apa pula itu sama kau ? Mau nanam kelapa sawit kau ?” serang Togar padaku dengan pertanyaan-pertanyaan. Mukanya kaget mendengar perkataanku tadi.
“Bukan mau menanm kelapa sawit, tapi aku hanya ingin mengetahui apa ad manfaat dari limbah tandan kosong kelaps sawit itu” simpulku. “Ada tidak ?!” tanyaku lagi.
“Jangan marahlah kukira kau ingin menjadi juragan kelapa sawit.” canda Togar . “Ya sudahlah. Bentar, biar kuambil dulu bukunya dirumah”.
“Ah, gitulah ! Makasih kali ya ! Kau memang kawanku!”, sorakku pada Togar, kutepuk punggung dia. Alah! Sangking senangnya tenagaku sedikit berlebihan memukul dia.
Togar pun melangkah menuju rumahnya. Sambil menunggu kedatangannya kembali, kuambil kereta dorong berisi tandan kosong yang kuambil semalam dari kebun. Kutuangkan tandan itu ke tanah dan kuratakan dengan kedua tanganku.
“Bah! Sejak kapan kau mengumpulkan tandan itu, Ucok ?” tanya Togar yang heran sekembalinya dia dari rumah sambil mengepit buku yang ingin kupinjam. “Ini buku yang kau cari, Cok ? Tapi buat apa pula kau baca buku ini ?” tanya Togar lagi masih dengan keheranannya.
“Nanti kau bakal tahu sendiri. Sekarang kau lebih baik pulang saja. Aku ingin membaca buku ini”, ujarku sambil tersenyum ke arahnya. Togar pun menurut dan melangkah meninggalkan rumahku. Aku sudah sibuk dengan buku bacaan di depanku.
Ada hal baru yang ku dapatkan dari buku ini. Ternyata tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung Kalium, dan setahuku kalau Kalium dapat menjadikan tumbuhan ‘kuat makan’. Bagai disengat listrik, aku disibukkan dengan hal baru ini . Apa yang bisa kubuat dari tandan kosong kelapa sawit ?. Berarti bila aku menanam dengan tandan ini, tanaman di rumahku akan lebih subur dari yang sekarang. Ide baru muncul dari pikirannku.
Bergegas aku bangkit dari dudukku. Kuambil segenggam tandan kosong yang utuh dan
kuletakkan di atas tanamanku. Sedikit kuatur letaknya agar terlihat lebih rapih. Setelah itu, kuambil air dari belakang, dan kusiram tanaman yang telah kuberi tandan kosong kelapa sawit. Aku tersenyum lebar atas apa yang kudapatkan hari ini, hatiku tak sabar menanti perkembangan pada semua tanaman yang telah kuberi tandan kelapa sawit
Telah dua minggu sejak kuletakkan tandan di setiap pot tanamanku namun, sampai sekarang perubahan tak kunjung muncul. Tanamanku tetap saja kurus bahkan ada yang mati pula. Aku bingung, Kenapa tandan itu tidak menyuburkan tanamanku ? Sedangkan dulu kulihat rumput tumbuh subur di atas tandan itu, apa ada cara-cara khusus untuk meletakkannya ? Tapi, kemarin tandan ini hanya teronggok saja. Otakku berputar mencari yang salah dari tandan ini. Atau hanya jenis tertentu yang dapat menyuburkan tanah ?
Kubaca kembali buku yang diberikan Togar, apa ada yang tertinggal kubaca? Lembar per lembar ku teliti. Tapi, tak kutemukan, semua telah tuntas kubaca. Aku semakin kacau, tak bisa kuselesaikan masalahku sekarang. Aku merasa berdosa karena telah membuat tanamanku mati. Ya Tuhan, maafkan aku karena telah menyiksa makhluk ciptaan-Mu, gumanku dalam hati.
Lelah aku berpikir tentang tandan dan tanamanku yang mati. Bersandar aku di depan pintu rumahku. Kutatap tandan kosong yang tinggal setengah. Pikiranku melayang saat aku melihat tandan ditumbuhi rumput yang kulihat di kebun dulu. Astaga ! Aku ingat apa yang kulupakan, rumput kemarin bisa tumbuh subur karena tandan sudah setengah lapuk dan berubah menjadi tanah. Sedangkan yang kuletakkan sekarang adalah tandan yang utuh, pantaslah tidak ada yang terjadi. Kupacu sepedaku ke rumah Togar. Aku ingin mendapatkan info lebih banyak dari seluruh buku kelapa sawit yang dipunya oleh ayah Togar saat ada pelatihan mengenai mengolah limbah organik tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan oleh mahasiswa PKL dari Institut Pertanian Bogor dulu.
“Makasih ya, Gar . Buku ini akan kukembalikan setelah aku siap membacanya”, kataku saat dua buku tentang kelapa sawit kupinjam lagi.
“ Ya sudah. Asal kau kasih tahu samaku , untuk apa buku ini samamu ?” tanya Togar lagi karena pertanyaannya kemarin belum terjawabku.
“Aku ingin membuat pupuk dari TKKS , makanya aku pinjam buku tentang kelapa sawit.”, terangku pada Togar. Kepalanya mengangguk kecil mendengar jawabanku tadi. Aku pun sedikit aneh dengan ide yang kudapat tadi. Mudah-mudahan info yang kubutuhkan ada di buku ini, doa ku dalam hati.
Aku semakin bersemangat untuk membuat pupuk dari TKKS. Karena bahan yang digunakan aku tahu dan bisa kudapatkan dengan mudah. Dua minggu lagi aku akan benar-benar membuat kompos dari TKKS, sekarang ini aku hanya mengumpulkan tandan kosongnya dan kotoran lembu yang ada di belakang rumahku.
……………………
“Ucok ! Mamak semakin heran dengan tingkahmu. Untuk apa kau kumpulkan semua tandan kosong itu. Kau yang bilang, kau ingin rumah kita asri, tapi kau letakkan juga tandan itu di halaman belakang ! Entah untuk apa samamu !” , Mamak marah padaku, karena aku memang tak pernah menjelaskan apa yang ingin aku kerjakan. Aku takut, bila semuanya gagal, aku akan lebih di marahi lagi.
“Udahlah, Mak. Mamak jangan marah-marah, nanti akan aku beritahu mamak” , belaku atas kemarahan Mamak. Akhirnya dengan diakhirin dengan dengusan kesal, Mamak meninggalkanku yang masih asyik mencacah tandan kelapa sawit. Untuk mempercepat pekerjaanku, ku panggil si Togar untuk membantuku.
Menunggu Togar selesai mencacah tandan, kuambil kotoran lembu yang akan ditumpukkan bersama. Aku dan Togar meratakan tandan yang sudah setengah hancur karena di cacah, setelah rata, giliran kotoran lembu kuratakan di atas cacahan tandan kosong kelapa sawit ini.
Saat Togar sibuk meratakan kotoran lembu, aku mengambil cairan Microorganism Decomposer 71 atau sering orang bilang MOD 71, yang sudah kucampur dengan air dan kudiamkan dalam satu malam. MOD 71 ini kugunakan agar aku bisa meikmati pupuk ini lebih cepat. Kusiram seluruh tumpukan tandan dan kotoran dengan larutan MOD 71 hingga tumpukan ini jadi basah,
Hari ini aku dan Togar menyelesaikan tiga tumpukan tinggi tandan dan kotoran lembu yang setiap tumpukannya di basahi oleh larutan MOD 71. Pekerjaan kami selesai hari ini. Tinggal tunggu saat kami harus mengaduk dan memberi larutan MOD 71 lagi tumpukan ini setiap 7 hari sekali, supaya tumpukan tandan dan kotoran lembu ini tetap basah dan proses pembuatan pupuk ini bisa berhasil.
“Cok, kau yakin dengan yang kau lakukan ini ?”, tanya Togar saat kami istirahat di bawah pohon di belakang rumahku,
“Entah, Gar. Tapi janganlah kau doakan ini tak berhasil. Kita hanya tinggal tunggu sampai tumpukan itu jadi kompos TKKS.”
Kurasan angin bertiup lembut menerpa wajahku. Tak terasa senja telah datang kembali, menyuruh matahari untuk kembali ke paruduannya. Togar telah kembali kerumahnya tadi. Aku masih belum beranjak dari tempat dudukku.

……………………..




“Ucok, kemari kau bentar.” panggil Mamak saat kami siap makan malam.
“Iya, Mak . Ada apa ?”
“ Tolong kau jelaskan untuk apa tumpukan tandan dan kotoran lembu yang tadi sore kau kerjakan dengan si Togar” mata mamak sedikit membuatku takut. Sepertinya Mamak marah karena aku tak pernah memberitahu kepada Mamak tentang apa yang kukerjakan saat ini.
“Aku membuat pupuk dari TKKS, Mak.” , jelasku singkat.
“Alamak ! Buat apa pula kau membuat pupuk, hah ? Kau pikirkan sekolah mu bagus-bagus ?! Jangan kau kerjakan yang bukan-bukan!” gerang Mamak kesal karena tahu aku membuat kompos.
“Mak, aku buat kompos itu karena aku berharap bisa membatu Mamak dan Ayah membiayai sekolah aku dan si Luhut” , jawabku setengah berteriak pada Mamak. Aku sedikit kesal karena Mamak marah sebelum tahu tujuan aku mengerjakannya.
Mendengar jawaban yang kuberikan, Mamak setengah kaget. Di tatapnya mataku lekat-lekat. Kemudian mamak segera masuk kekamar. Kutunggu beberapa saat, namun Mamak tak kunjung keluar dari kamar. Ayah dan Luhut pun menyusul masuk kamar. Tinggal aku sendiri di di ruangan tengah ini.
Kujatuhkan badan dikursi. Kuhembuskan nafas panjang. Kenapa tiba-tiba dadaku sesak dan mataku sedikit perih menahan air mata yang ingin jatuh. Hatiku merasa bersalah karena telah membentak Mamak. Aku sempat melihat matanya sedikit berkaca-kaca saat mendengar jawaban dariku. Ya Tuhan, maafkan aku, aku tak sengaja memarahi Mamak, terasa tetes air mata jatuh di pipiku.
Sudah beberapa kali aku mengaduk tumpukan TKKS ini, dan tumpukan ini sudah hancur. Berarti aku berhasil mebuat kompos TKKS. Sekarang, aku ambil sedikit kompos TKKS dan kuletakkan di atas tanah yang kutanam bunga, seperti biasa setelah itu kusiran kembali tanah yang telah kucampur oleh kompos TKKS.
Tak sampai dua minggu , aku sudah mendapatkan kepuasaan, karena pupuk yang kubuat bekerja dengan baik. Bunga yang kuletakkan kompos TKKS tumbuh segar dan terlihat sangat subur. Aku bersorak kesenangan, usahaku selama ini ternyata tidak sia-sia.
Pekerjaan selanjutnya yang harus kuselesaikan adalah menawari pupuk-pupuk ini ke rumah-rumah orang. Berharap ada yang tertarik membelinya.
Kuambil beberapa karung kecil ukuran lima kilogram dari laci lemari dapur. Kumasukkan kompos TKKS ke dalamnya. Aku mengkira-kira berat setiap karungnya, agar semua karung punya berat yang sama. Setelah itu, karung berisi kompos TKKS itu aku ikat kuat dengan tali plastik. Selesai sudah, sekarang aku letakkan karung-karung ini kedalam kereta dorong. Aku bersiap untuk menjualnya.
Aku bernazar pada Allah, bila pupuk ini laku terjual, uangnya akan kubelikan sebuah jilbab untuk Mamakku, yang sempat kumarahi dulu. Aku ingin menembus dosaku padanya. Mak, maafkan aku, akan kuberikan Mamak jilbab, pasti Mamak akan lebih cantik mengenakannya, gumanku dalam hati.
Hatiku bersorak riang. Jalan panjang yang harus kutempuh terasa begitu ringan. Matahari pun bersahabat denganku hari ini, cerah namun tak begitu panas, Allah pun memberikan hembusan angin untuk menemani perjalananku.


14, Agustus 2010
 

(c)2009 note pad. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger